Terkadang, hidup ini lucu.
Tempatnya lakon sandiwara.
Dan topeng seringkali menutupi wajah asliku.
Hari ini kukenakan topeng bahagia,
Besok kupasang topeng suka,
Lusa kugunakan topeng gembira,
Lusanya lagi aku bertopeng senang.
.
Ah, palsu memang.
Ternyata aku pandai bermuka dua.
Didepan mereka, aku seolah ikut bahagia melihat rahmat Allah atasnya.
Tapi dibelakang,
aku mencibir penuh iri dan dengki.
Tak terima hidup mereka melebihi [hidupku].
.
Kenapa?
Kenapa Allah tak karuniakan bahagia kepadaku seperti Allah karuniakan bahagia sempurna kepada mereka?
.
.
.
Wajahku imitasi.
Perilaku-ku imitasi.
Iya,
siapa dan apa sebenarnya aku yang asli memang bukan ketika sedang duduk bersama orang ramai,
namun ketika sedang sendirian,
dan dengan tenang meletakkan semua topeng yang tersedia,
tanpa takut ada yang melihat muka asliku seperti apa.
.
"ya Rabb, aku lelah dengan topeng-topeng ini. Semakin lama, aku wajah asliku semakin menua. Makin tak kuat menopang pengaruh topeng kepalsuan yang kian hari kian menguat pengaruhnya terhadap hati."
.
Tuhanku berkata: "Maka lepaskan!"
.
"Bagaimana bisa, ya Allah?"
.
Kemudian jawab Tuhanku lagi:
"Bersihkan hatimu dari segala prasangka terhadap Aku. Berharaplah selalu padaKu. Taatlah! Maka akan kuberi engkau ketenangan jiwa."
.
Ternyata hidup tanpa topeng itu jauh lebih lega.
Lebih ringan beban jiwa raga.
Dan aku yakin,
selama kuikuti perintah Tuhanku untuk jadi hamba yang apa adanya,
aku takkan pernah lagi memerlukan topeng-topeng kepalsuan manusia.
.
Jadi,
Terbuat dari apa topeng hidupmu, Sobat?
Kaca?
Besi?
Kayu?
Letakkanlah.
Lepaskanlah.
Bukalah.
Taruhlah.
Buanglah jauh-jauh sebelum semua pecah dan hancur kemudian merusak wajah aslimu.
Kalau sudah begitu,
engkau akan terus memerlukan topeng-topeng itu untuk menutupi kerusakan pada sekujur wajahmu.
Seumur hidup.
Tempatnya lakon sandiwara.
Dan topeng seringkali menutupi wajah asliku.
Hari ini kukenakan topeng bahagia,
Besok kupasang topeng suka,
Lusa kugunakan topeng gembira,
Lusanya lagi aku bertopeng senang.
.
Ah, palsu memang.
Ternyata aku pandai bermuka dua.
Didepan mereka, aku seolah ikut bahagia melihat rahmat Allah atasnya.
Tapi dibelakang,
aku mencibir penuh iri dan dengki.
Tak terima hidup mereka melebihi [hidupku].
.
Kenapa?
Kenapa Allah tak karuniakan bahagia kepadaku seperti Allah karuniakan bahagia sempurna kepada mereka?
.
.
.
Wajahku imitasi.
Perilaku-ku imitasi.
Iya,
siapa dan apa sebenarnya aku yang asli memang bukan ketika sedang duduk bersama orang ramai,
namun ketika sedang sendirian,
dan dengan tenang meletakkan semua topeng yang tersedia,
tanpa takut ada yang melihat muka asliku seperti apa.
.
"ya Rabb, aku lelah dengan topeng-topeng ini. Semakin lama, aku wajah asliku semakin menua. Makin tak kuat menopang pengaruh topeng kepalsuan yang kian hari kian menguat pengaruhnya terhadap hati."
.
Tuhanku berkata: "Maka lepaskan!"
.
"Bagaimana bisa, ya Allah?"
.
Kemudian jawab Tuhanku lagi:
"Bersihkan hatimu dari segala prasangka terhadap Aku. Berharaplah selalu padaKu. Taatlah! Maka akan kuberi engkau ketenangan jiwa."
.
Ternyata hidup tanpa topeng itu jauh lebih lega.
Lebih ringan beban jiwa raga.
Dan aku yakin,
selama kuikuti perintah Tuhanku untuk jadi hamba yang apa adanya,
aku takkan pernah lagi memerlukan topeng-topeng kepalsuan manusia.
.
Jadi,
Terbuat dari apa topeng hidupmu, Sobat?
Kaca?
Besi?
Kayu?
Letakkanlah.
Lepaskanlah.
Bukalah.
Taruhlah.
Buanglah jauh-jauh sebelum semua pecah dan hancur kemudian merusak wajah aslimu.
Kalau sudah begitu,
engkau akan terus memerlukan topeng-topeng itu untuk menutupi kerusakan pada sekujur wajahmu.
Seumur hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar